Rabu, 26 Desember 2012

Pekerja Keras dari Negeri Samurai


Jepang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki etos kerja yang hebat. Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampat kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi, serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara jepang itu sendiri.
Budaya kerja bangsa Jepang terkenal dari dulu selama perang dunia ke 2 Jepang yang merupakan negara kecil dapat menguasai sebagian besar wilayah Asia dan Amerika Serikat sempat diluluhlantahkan (Pearl Harbour) hingga akhirnya bertekuk lutut setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh sekutu
. Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri orang Jepang, dari semboyan samurai yang menyatakan “Lebih baik mati dari pada berkalang malu”, ada juga istilah MAKOTO yang artinya bekerja dengan giat semangat,jujur serta ketulusan.Belum lagi semangat dan semboyan serta falsafah yang lain yang dapat memacu kerja dan membentuk etos kerja para pekerja diluar negara Jepang.
Dalam artikel ini akan dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan bangsa Jepang mempunyai etos kerja yang begitu baik dan pantang menyerah.


Budaya Kerja Bangsa Jepang

Apa yang terbesit dalam benak kita jika ditanya “Jepang itu negara seperti apa sih?” pasti diantara kita memilikii jawaban yang berbeda-beda. Mungkin ada yang menjawab “negara yang memiliki teknologi canggih”, atau “negara yang perekonomianya maju”, dan lain sebagainya. Tapi, pernahkah kita berpikir bagaimana mereka bisa seperti itu? Padahal mereka “miskin” sumber daya alam.
Jawabannya adalah masyarakatnya sendiri. Sudah sangat kita kenali dan pahami oleh kita semua bahwa bangsa Jepang terkenal dengan sebutan bangsa yang masyarakatnya memiliki etos kerja yang luar biasa dalam hal kerja keras, disiplin tinggi dan tetap memegang teguh budaya leluhurnya seiring dengan kemajuan di berbagai bidang IPTEK. Dalam kesehariannya masyarakat Jepang terutama para pekerja menerapkan falsafah Bushido yaitu etos para Samurai, yang secara harfiah Bushido itu berarti berasal dari Bu berarti senjata, Shi  berarti Orang (Bushi: Orang yang dipersenjatai atau dikenal sebagai prajurit), dan Do yang artinya Jalan / The Way of Life. Sehingga makna Bushido dapat diartikan sebagai Jalan Prajurit dan Bushido sendiri akhirnya dikenal sebagai karakter dasar budaya kerja bangsa berjuluk Negeri Matahari Terbit ini.
Inilah 7 (tujuh ) prinsip dalam Bushido :
(1) Gi : keputusan benar diambil dengan sikap benar berdasarkan kebenaran, jika harus mati demi keputusan  itu, matilah dengan gagah, terhormat.
(2) Yu : berani, ksatria.
(3) Jin : murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama.
(4) Re : bersikap santun, bertindak benar.
(5) Makoto : tulus setulus-tulusnya, sungguh-sesungguh-sungguhnya, tanpa pamrih.
(6) Meryo : menjaga kehormatan martabat, kemuliaan.
(7) Chugo : mengabdi, loyal.
Prinsip Bushido ini sekalipun awalnya diterapkan dikalangan para prajurit saja, namun perputaran waktu yang membawa Jepang menjadi bangsa yang maju adalah bukti bahwa bushido dapat diterapkan dalam segala aspek, termasuk para wirausaha, birokrat dan kaum cendekiawan serta seluruh lapisan masyarakat. Karena Bushido adalah karakter budaya kerja asli Jepang.
Dalam kenyataannya terjadi pada pekerja di perusahaan, orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan.
Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis.
Selain dari faktor di atas, ada juga faktor lain yang mempengaruhi etos kerja mereka. Diantaranya ialah:
1). Masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, perbedaan yang paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama.
2). Etika orang Jepang : etika demi komunitas
Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan.

Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah:
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” oleh orang asing.

2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.” (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.

3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku ajaran Sun Tzu, The Art of War untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisnis sekarang. Untuk menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang, kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis.
Dengan demikian keberhasilan Jepang sebagai negara maju, bukanlah berdasarkan faktor kekayaan sumber daya alam. Tapi dari faktor sumber daya manusia yang dapat didaya gunakan demi menutupi kekurangan yang ada pada negara. Dengan karakteristik masyarakat yang ulet, rajin, gigih dan pantang menyerah, Jepang akhirnya dapat menjadi negara besar yang maju dan tangguh yang disegani negara lain di dunia sampai saat ini. (ed)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar